Artikel ini membutuhkan lebih
banyak catatan kaki
untuk pemastian.
Silakan bantu memperbaiki artikel ini dengan menambahkan catatan kaki dari sumber yang terpercaya. Tag ini diberikan pada Maret 2010 |
Indeks persepsi
korupsi di 2009. Semakin hijau menunjukkan tingkat korupsi semakin
rendah; sedangkan semakin merah menunjukkan semakin tinggi tingkat korupsi sebuah
negara
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere
yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) atau rasuah adalah tindakan
pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat
dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal
menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak[1].
Dari sudut
pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
- perbuatan melawan hukum,
- penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
- memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
- merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis tindak
pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah
- memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
- penggelapan dalam jabatan,
- pemerasan dalam jabatan,
- ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
- menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang
luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi
adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan
oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak
jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang
muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini
dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari
negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi
atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat
namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Daftar
isi
|
Kondisi yang mendukung munculnya korupsi
- Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
- Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
- Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
- Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
- Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
- Lemahnya ketertiban hukum.
- Lemahnya profesi hukum.
- Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
- Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
mengenai
kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibanding dengan kebutuhan hidup
yang makin hari makin meningkat pernah di kupas oleh B Soedarsono yang
menyatakan antara lain " pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh
suburnya korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan adalah kurangnya gaji
pejabat-pejabat....." namun B Soedarsono juga sadar bahwa hal tersebut
tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang bekerja dan saling memengaruhi
satu sama lain. Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan,
orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Namun demikian
kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol
dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh
Guy J Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of
three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123). Begitu pula J.W
Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama tahun 1960
situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai,
gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat dipahami
bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan banyak
diantaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk pelayanan yang
diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan Korupsi karya Andi Hamzah,
2007)
- Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
- Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".
Dampak negatif
Demokrasi
Korupsi
menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik,
korupsi mempersulit demokrasi dan tata
pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan
proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi
akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem
pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik
menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum,
korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian
prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan
bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi
pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Ekonomi
Korupsi juga
mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi
kualitas pelayanan pemerintahan.
Korupsi juga
mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat
distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi
meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup,
dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang
menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah
birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan
menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana
korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan
"lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi
dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang
tidak efisien.
Korupsi
menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor
publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek
masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin
menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi,
yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi
pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan
lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan
infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar
ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi
di Afrika dan Asia,
terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan
sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar
negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering
benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss).
Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari
semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan,
melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari
tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara
berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka
sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau
kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur
Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan
politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset
pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi
para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan
dari ekspropriasi
di masa depan.
Kesejahteraan umum negara
Korupsi politis
ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya.
Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok,
bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi
perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME).
Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan
kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu
mereka.
Bentuk-bentuk penyalahgunaan
Korupsi
mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan
sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan,
pemerasan,
campuran
tangan, dan penipuan.
Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan
Korupsi
memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima
sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup
sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan.
Negara-negara
yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan
negara-negara yang paling sering menerima sogokan.
Duabelas negara
yang paling minim korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan tentang korupsi
oleh rakyat) oleh Transparansi
Internasional di tahun 2001 adalah sebagai berikut:
- Australia
- Kanada
- Denmark
- Finlandia
- Islandia
- Luxemburg
- Belanda
- Selandia Baru
- Norwegia
- Singapura
- Swedia
- Swiss
- Israel
Menurut survei
persepsi korupsi , tigabelas negara yang paling korup adalah:
- Azerbaijan
- Bangladesh
- Bolivia
- Kamerun
- Indonesia
- Irak
- Kenya
- Nigeria
- Pakistan
- Rusia
- Tanzania
- Uganda
- Ukraina
Namun demikian,
nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan
persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan
langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada)
Sumbangan kampanye dan "uang haram"
Di arena
politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi
untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip
menyangkut politisi.
Politisi
terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan
keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya
demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan
munculnya tuduhan korupsi politis.
Tuduhan korupsi sebagai alat politik
Sering terjadi dimana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka
dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Cina,
fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang
terakhir, oleh Hu Jintao untuk
melemahkan lawan-lawan politik mereka.
Mengukur korupsi
Mengukur
korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara
alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin
bersembunyi. Transparansi
Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan
tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi
Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup
negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan
rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei
Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing
memberikan sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi Global;
edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator
Kepemerintahan.
Lihat pula
Tidak ada komentar:
Posting Komentar